Sebuah pengalaman masa silam yang membekas dalam diri Ciputra adalah ketika kampungnya kedatangan sekelompok tentara Jepang, mereka menangkap sekitar 5-6 orang pria, diantaranya adalah Ayah Ciputra. Mereka dibawa tentara Jepang dengan tuduhan sebagai mata-mata Belanda. Sembilan bulan kemudian, ia mendapat kepastian bahwa Ayahnya tidak akan pernah kembali.
Perlahan-lahan anak yang semula nakal itu mulai berubah. Apalagi setelah toko milik keluarganya harus ditutup akibat perang dan kehidupan mereka berubah drastis. Sebagai pengganti kepala rumah tangga, Ciputra mencoba membantu perekonomian Keluarga, antara lain dengan berburu babi hutan dengan anjing-anjingnya, lalu daging babi hutan hasil buruan dijual ke tetangga, selain itu, ia juga membuat topi dan bakul dari daun lontar dan hasilnya dijual.
Sebagai anak desa, Ciputra tergolong istimewa karena hasratnya untuk bersekolah, ternyata tidak pupus. "Saya berfikir waktu itu, tidak mungkin terus-terusan jadi petani," katanya. Usai SD, ia melanjutkan sekolah ke Manado kemudian menempuh pendidikan tinggi di IPB dengan mengambil jurusan Arsitektus. Ciputra mendapatkan gelar Sarjananya pada usia 31 tahun.
Ciputra sudah mulai merintis usaha pada saat di bangku kuliah, dengan mendirikan biro konsultan Daja Cipta bersama dua teman kuliahnya. Merasa tidak puas hanya bekerja untuk proyek orang lain dan ingin menciptakan proyek sendiri, maka ia putuskan untuk menjadi Pengembang (Developer), mitra usaha pertamanya tidak tanggung-tanggung adalah Pemda DKI dan Hasyim Ning. Pada tahun 1961 Ciputra mendirikan PT. Pembangunan Jaya yang sekarang dikenal dengan Jaya Group.
Bisnis Ciputra makin kokoh lewat dua kelompok bisnis lainnya, yaitu : (1) Metropolitan Group, yang didirikan bersama dua mitranya yang dulu mendirikan biro konsultan sewaktu masih kuliah, (2) Ciputra Group, yang didirikan bersama istri dan 4 orang anaknya. Dalam menjalankan Proyek, Ciputra membagi wilayah penggarapan, dimana Jaya Group khusus untuk Proyek di Pemda DKI, Metropolitan Group khusus untuk menangani proyek untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya sedangkan Ciputra Group khusus untuk menangani proyek untuk wilayah luar Jakarta dan Mancanegara.
Soemarno Sastroatmodjo, Gubernur DKI Jakarta awal 1960-an, pernah menantang Ciputra untuk membuat Market dengan Feasibility study untuk proyek kawasan bisnis Senen. Ciputra semula ragu, karena merasa tidak menguasai hitung-hitungan bisnis, tapi Ciputra berani mencoba dan hasil kajiannya ternyata mampu membuat Soemarno terkesan. Proyek ini kemudian menjadi awal kerja samanya dengan Pemda DKI melalui Jaya Group.
Ciputra juga dikenal sebagai pengembang dengan visi yang besar. Ia selalu gelisah untuk membangun suatu kawasan menjadi lebih baik, lebih indah, lebih besar dan lebih modern.Dari padang ilalang yang tak terurus, menjadi kawasan komersial bernilai ekonomi tinggi istilahnya, "dari kotoran dan rongsokan menjadi emas".
Dengan visi seperti itulah, Ciputra menggarap kawasan Ancol. Dari sebuah pantai yang terbengkalai menjadi kawasan wisata modern yang laba bersihnya tercatat mencapai 200 milyar per tahun (data tahun 2007), selain itu Ciputra menyulap lahan kosong yang berada di pinggiran kota Jakarta menjadi kawasan perumahan mewah yaitu Perumahan Pondok Indah dan Bintaro.
Dibalik kesuksesannya, sisi sosial Ciputra juga menonjol. Sejak awal menjadi pengusaha, sudah terlibat dalam banyak kegiatan mulai dari seni, olahraga, dan pendidikan. Wujud dari jiwa sosial nya itu berdiri bangunan untuk berbagai kegiatan sosial yang berlokasi di Citra Raya Tangerang seluas 30 hektar. Bagi Ciputra seorang pengusaha harus berjiwa sosial. Prinsipnya berbuat sosial harus sejak dini bukan ketika sudah sukses, kesannya cuma menyerahkan uang dan bukan hati kita. "Semakin banyak kita memberi, justru semakin banyak kita diberi" tuturnya.
Proyek terbesar Ciputra adalah menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia menjadi entrepreneur yang mampu memajukan negaranya. Di benak Ciputra, modal seorang entrepreneur adalah keberanian. Berani mencoba sesuatu yang baru, serta berspekulasi. Harus juga ada keinginan yang kuat, semangat, dan kepercayaan diri. Sedangkan soal keahlian atau kepintaran akan muncul dengan sendirinya. "Proyek-proyek saya selama ini juga didasarkan pada hal-hal semacam itu," ungkapnya.
Ciputra menekankan, seorang enterpreneur juga harus selalu berinovasi dan mewujudkan cita-cita kreatifnya itu ke dunia nyata, jadi bukan hanya bermimpi. Bila usahanya kemudian sudah berjalan dengan baik, maka tugas operasional bisnis selanjutnya diserahkan saja kepada para profesional. Tugas entrepreneur harus menciptakan kreasi bisnis yang baru lagi, trus begitu tanpa henti. Ciputra sendiri Jabatan di perusahannya adalah sebagai Corporate Creative Navigator yang memberi inspirasi, motivasi dan konsultasi.
Tiga group bisnis Ciputra dengan 14.000 karyawan, sudah menggarap proyek di lebih 25 kota di Indonesia dan berbagai negara. Bersama mitranya yang jumlahnya 50 orang, Ciputra memegang teguh 3 hal : Integritas, Wisdom, dan Entrepreneurship. (1) Integritas dimana ciputra memegang teguh untuk tidak berlaku curang dalam menjalankan bisnisnya, (2) Wisdom, Ciputra selalu menyelesaikan persoalan dengan bijak. "Jangan pernah berpekara ke pengadilan. Bicarakan saja baik-baik," katanya. (3) Enterpreneurship yaitu selalu penuh inovasi dalam berpartner.
Dalam mengembangkan entrepreneurship di Indonesia, menurut Ciputra ada beberapa kendala, diantaranya : (1) Sebagian besar generasi muda kita tidak dilahirkan di dalam keluarga entrepreneur atau dibesarkan dalam lingkungan yang memiliki budaya entrepreneurship, (2) Sistem Pendidikan di Indonesia masih mengarah untuk menghasilkan lulusan - lulusan yang nantinya menjadi Pekerja bukan Entrepreneur.
Padahal, Semakin banyak jumlah Entrepreneur di suatu negara dipahami bahwa negara itu diindikasikan negara yang Maju, dengan banyaknya Enterpreneur semakin sedikit orang yang ketergantungan mencari pekerjaan (the Entrepreneur), semakin banyak orang yang membuka lahan pekerjaan dan semakin banyak orang yang bisa disejahterakan. Contoh negara Singapore, Entrepreneurnya mencapai 7 % dari jumlah penduduk, Indonesia hanya 0,18 % dari jumlah penduduk. Terbukti Singapore adalah masuk kategori negara Maju, sedangkan Indonesia, Anda dapat menjawabnya sendiri.
Ciputra punya pemikiran agar entrepreneurship diintegrasikan saja ke dalam kurikulum pendidikan nasional sekalian. Langkah awalnya, ia mencoba terlebih dahulu di sekolah dan perguruan tinggi yang dikelolanya seperti Sekolah Ciputra, Sekolah Citra Kasih, Sekolah Citra berkat dan Universitas Ciputra. Sejak masuk TK, anak-anak sudah diasah kreativitasnya dan diperkenalkan kepada bentuk-bentuk entrepreneur di masyarakat. Harapannya saat perguruan tinggi, mereka sudah mencoba untuk memulai usaha sendiri, seakan ada rasa malu kalau cuma belajar melulu tapi tidak punya bisnis.
Ada pula Universitas Ciputra Entrepreneurship Center yang merumuskan tujuh Principle Entrepreneursip Base Learning Ciputra Way. Tugasnya menyusun model pembelajaran entrepreneurship berdasarkan pemikiran dan pengalaman Ciputra dalam mengelola usahanya. Lewat Yayasan Ciputra Entrepreneur, juga diadakan pelatihan dan kerja sama dengan masyarakat yang ingin mengembangkan diri menjadi entrepreneur.
(sumber : Majalah Intisari Mei 2011)